My Coldest CEO

35| This, Not a Meeting



35| This, Not a Meeting

0"Aku kan belum bilang iya atau tidaknya, Tuan."     

"Memangnya saya butuh penolakan darimu?"     

Felia menatap Leo dengan sorot mata tajam, ia kesal sekali karena laki-laki tersebut selalu saja menanyakan kejelasan tentang akhir pekan mereka yang akan terbang dengan jet pribadi ke Paris. Pasalnya, ia tidak enak karena Leo selalu saja menghabiskan uang untuk dirinya. Makan di restoran mahal, membayar total keseluruhan belanja bulanan miliknya, dan kini ia di ajak keluar negeri seperti di ajak ke kedai es krim? semudah itu ya bagi orang kaya yang ingin menghabiskan uang?     

"Tapi Tuan, ada banyak hal penting lagi yang bisa dibantu dengan uang kamu."     

"Apa? yayasan panti asuhan, yayasan kesehatan, bantuan untuk para orang tidak mampu, semuanya sudah saya lakukan. Tapi, uang saya masih melimpah. Jadi apa salahnya saya mengajak kamu pergi ke Paris?"     

Kini, seperti rencana pada pagi hari tadi. Mereka sudah berada di dalam mobil, bahkan seat belt sudah terpasang apik di tubuh masing-masing. Tadinya Felia tidak ingin ikut karena penampilannya yang hanya memakai kaos kebesaran milik Leo dan celana pendek ketat laki-laki tersebut, tapi justru katanya ia terlihat menjadi wanita cantik tanpa harus memiliki penampilan yang berlebihan.     

Sepertinya Leo sangat pandai membuat orang lain kembali memiliki tingkat kepercayaan dirinya.     

"Tidak, tidak ada yang salah. Sebaiknya Tuan cepat melajukan mobil karena hari akan semakin sore,"     

Leo menolehkan kepalanya ke arah Felia, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah wanita tersebut.     

Cup     

Satu kecupan manis mendarat di pipi Felia, membuat wanita itu langsung saja tersenyum malu dengan dada gang berdesir seperti terdapat jutaan kupu-kupu yang menyesakkan rongga dadanya.     

Bertemu dengan Leo adalah sebuah keberuntungan, karena dengan laki-laki tersebut yang bernotabene The Richest CEO, sudah pasti segala kebutuhan akan terpenuhi.     

Tapi, Felia sebagai wanita sederhana selalu menanamkan rasa tidak enak karena ia benar-benar tidak pernah menyusahkan orang lain untuk jalannya kehidupan.     

Leo terkekeh, lalu segera menuruti apa yang dikatakan oleh Felia. Mobil sportnya mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah, sampai pada jalan raya yang tampak ramai karena jujur saja sore hari adalah jam pulang kerja. Sudah pasti para kendaraan umum maupun pribadi terlihat seperti tengah berdesak-desakkan di atas aspal London.     

"Tuan,"     

Felia memanggil Leo karena ia sedikit canggung dengan perlakuan laki-laki tersebut beberapa menit yang lalu. Ia seperti merasakan desiran aneh, ah jangan sampai jatuh hati.     

Karena terkadang, jatuh cinta tidak perlu pendekatan yang lebih lama. Ada jatuh cinta pada pandangan pertama, bahkan hanya dalam waktu yang sangat singkat.     

Leo tanpa menolehkan kepalanya, berdehem kecil seolah-olah menjawab panggilan Felia. Ia terlalu fokus dengan jalan raya yang ada di depannya, takut kalau mengalihkan sedikit saja pandangannya pasti bisa berakibat yang buruk.     

"Iya, ada apa? ingin di kecup lagi pipinya?"     

"E-eh?" Kedua pipi Felia kembali tersipu. Bisa-bisanya Leo mengatakan hal itu pada gadis lugu seperti dirinya! "Tentu saja tidak, Tuan. Ah aku jadi merasa serba salah, apa aku boleh menyetel lagu saja supaya tidak terlalu sepi?" sambungnya sambil bertanya hal itu. Ia benar-benar tidak bermaksud ingin membahas kecupan yang sialnya memang sangat memabukkan itu, huh.     

Leo menaikkan sebelah alisnya, ia merasa bingung dengan Felia. Wanita itu gemar sekali bertanya tentang hal yang tidak patut untuk ditanyakan mengenai diperbolehkan atau tidaknya. "Tentu saja boleh, kenapa kamu selalu bertanya?" tanya.     

Felia meringis kecil, ya karena dirinya ini sudah terbiasa izin terlebih dahulu kepada si empunya. Rasanya seperti maling kalau melakukan hal seenaknya pada sesuatu milik orang lain. "Ah supaya lebih sopan saja, Tuan." ucapnya sambil menampilkan senyuman tipis yang tidak akan pernah di lihat Leo karena laki-laki itu kini sedang fokus pada jalan raya.     

Leo mengubah pose alisnya yang semula terlihat naik sebelah, menjadi keningnya yang berkerut. "Sudah berapa kali saya bilang kalau cukup memanggil saya dengan nama saja tanpa embel-embel Tuan?" ucapnya, menegur kembali Felia. Rasanya aneh sekali jika wanita yang sedang dekat dengannya ini malah memanggil dirinya dengan sebutan 'Tuan'.     

"Aku tidak nyaman, lebih enak pakai Tuan. Ya karena tidak mempunyai hubungan spesial yang menghilangkan embel-embel Tuan dari depan panggilan nama mu." ucap Felia. Hei, ia tidak berkode atau apapun. Tapi itu lah kenyataannya.     

Bagaimana kalau nanti di depan publik, ia terlihat berbicara dengan Leo dan terdengar orang-orang yang berlalu-lalang? Tidak ada kabar kedekatan apapun, tapi nanti dalam jalan pikir orang lain, ia adalah wanita tidak sopan karena memanggil laki-laki terpandang tanpa adanya 'Tuan'.     

"Kalau begitu, saya yang merasa tidak enak."     

"Memangnya kenapa, Tuan?"     

"Masa dengan calon kekasih hati masih saja memanggil saya dengan panggilan yang sangat kaku seperti itu?"     

...     

Sampainya di pusat perbelanjaan ...     

"Jadi, aku harus pilih apa aja?"     

Felia sama sekali tidak mengerti kenapa Leo membawa dirinya ke toko dengan label harga yang sangat mahal hanya untuk satu baju atasan?     

"Ya terserah kamu, saya hanya menjadi bank berjalan untuk kamu." ucapnya sambil mengulas sebuah senyuman yang hangat dengan tangan kanan yang terjulur untuk mengelus pelan puncak kepala Felia, ia benar-benar tulus membelikan segala keperluan yang di butuhkan wanitanya.     

Tunggu, wanitanya? bahkan ia sama sekali belum menyatakan apapun untuk menjalin hubungan bersama dengan wanita itu.     

Felia mengerucutkan bibirnya. Mau protes seberapa jauh pun pasti Leo kerasa kepala dan lebih mementingkan dirinya dan segala kebutuhannya dari pada uang sendiri.     

Baiklah, mungkin memang sudah seharusnya ia terbiasa dengan semua kemewahan yang diberikan oleh Leo. Sedikit-sedikit ia berjalan ke arah deretan kaos, tentu saja sambil melihat-lihat label harganya.     

Leo yang melihat itu jelas-jelas terkekeh kecil, baginya populasi wanita seperti Felia sangatlah langka. "Kenapa kamu melihat-lihat label harga? sebaiknya cari baju yang kamu sukai, bukan cari baju dengan harganya." ucapnya.     

Felia tersentak, astaga lagi-lagi dirinya tersipu malu. Merasa konyol dengan apa yang dilakukan dirinya sendiri. "A-ah itu, Tuan. Tidak melihat-lihat label harga kok, aku hanya ingin mengambil pakaian ini, ia ini." ucapnya sambil meraih sebuah baju dengan asal, bahkan ia tidak melihat terlebih dahulu bagaimana desainnya.     

"Kamu yakin mau beli yang itu?"     

"Yakin dong, tadi mata ku langsung tertuju pada baju yang satu ini."     

Masih mencoba menahan supaya gelak tawa tidak terdengar menggelegar yang sudah pasti akan menghadirkan banyak pekik tercekat dari para wanita yang mendengarkannya. Ia menatap Felia seolah-olah bertanya 'apa kamu serius?' dengan gerakan wajahnya.     

Felia menganggukkan kepala, memilih salah tapi tidak memilih juga salah. "Memangnya ada apa sih, Tuan? Aku salah lagi, huh?" tanyanya.     

Leo menggelengkan kepala, ia merasa jika Felia harus melihat apa yang dia ambil saat ini. "Coba lihat di tangan mu, Fe. Kamu sangat tidak fokus ya sampai-sampai memilih itu?"     

Menaikkan sebelah alisnya, Felia pun mulai dengan perlahan menurunkan pandangannya. Dengan mata membelalak sempurna, ia ternyata mengambil sebuah lingerie. Kedua pipinya langsung saja memerah padam, rasanya benar-benar sangat malu apalagi membayangkan kalau dirinya memakai itu. Ah jangan-jangan, terdengar sangat menjijikkan. "Ah maaf aku sama sekali tidak tau, huh." ucapnya, dengan cepat langsung menaruh kembali lingerie tersebut ke gantungan yang berada disampingnya.     

Leo terkekeh kecil, lalu menaik turunkan alisnya. Ia pun juga membayangkan bagaimana tubuh Felia saat memakai itu, pasti cantik sekali. "Beli saja, Fe. Saya sama sekali tidak masalah," ucapnya sambil menampilkan sebuah senyum miring dengan berjuta makna dan arti.     

Pipi yang memerah padam itu, semakin tersipu mungkin saja sudah melebihi merahnya kepiting rebus. "Ih jangan mesum, Tuan. Aku sama sekali tidak sengaja mengambil pakaian seperti itu. Dan juga aku tidak akan pernah mau memakainya jikalau punya." ucapnya. Ia bergidik membayang kalau nanti udara dinginnya AC menembus sampai kulit terdalamnya karena ia mengenakkan lingerie.     

"Tidak, aku hanya menyarankan saja. Biasanya juga para wanita suka memakai pakaian yang adem seperti itu,"     

"Tapi tidak dengan diri ku, Tuan."     

Felia mendengus, lalu berjalan kembali meninggalkan Leo yang masih menatapnya dengan sangat lekat. Ia melihat deretan dress dengan berbagai macam model. Lalu kedua bola matanya terpaku menatap sebuah dress tanpa motif alias polos, berwarna putih tulang. Terkesan sederhana, namun elegannya dapat.     

"Tuan, apa aku bole--"     

"Ambil saja jika kamu suka, Fe. Nanti saya yang akan bayar semuanya, kamu tinggal pilih saja sesuai selera."     

Tiba-tiba saja, suara bariton itu sudah terdengar tepat di telinga Felia. Sontak saja ia sedikit terkejut karena kehadiran Leo sangat tidak terduga karena tadi laki-laki tersebut tadi berada di belakangnya.     

"Eh? Tuan."     

Leo mengulas sebuah senyuman.     

Cup     

Satu kecupan lembut kembali mendarat di kening Felia, lalu tanpa wajah berdosa yang seolah-olah tidak terjadi apapun, Leo segera melangkahkan kakinya. Ia juga ingin berbelanja, membeli outfit mahal yang memang sekalu menjadi kegemarannya.     

Sedangkan Felia? jantungnya terasa ingin lepas dari tempatnya pada saat ini juga. Ia sama sekali tidak menyangka jika kehadiran Leo sangat berpengaruh besar bagi hidupnya, termasuk suasana hatinya.     

"Ih menyebalkan," gumamnya. Ia mencoba untuk mengatur setiap deru napasnya, supaya rona di pipinya bisa hilang tanpa perlu merasa malu karena sedaritadi banyak pasang mata yang melirik iri ke arah dirinya, termasuk para wanita.     

Dengan cepat, ia langsung saja mengambil baju yang diinginkan olehnya. Sekali-kali, ia ingin memakai dress supaya lebih terlihat feminim. Penampilannya feminim sih, tapi jauh terlihat tidak terawat saja.     

Ia kembali melangkahkan kakinya, mengedarkan pandangan kala tidak melihat Leo yang tadi masih berada lurus dalam penglihatannya.     

"Loh, kemana Tuan Leo?"     

Baru saja menggumamkan pertanyaan seperti itu pada dirinya sendiri, kedua manik mata Felia langsung saja menemukan keberadaan Leo yang tengah berbicara dengan seorang wanita.     

Ia melekatkan tatapannya, karena kedua matanya tidak terlalu jelas melihat itu. Entah karena matanya yang buram --sepertinya tidak-- atau pandangannya yang salah?     

"Azrell?"     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.